Permasalahan Pendokumentasian di Organisasi HAM

ham_logoDalam tulisan ini, secara spesifik akan dibahas tentang permasalahan pendokumentasian HAM di berbagai organisasi yang terkait dengan isu ini. Tulisan ini tidak mencerminkan kondisi dan situasi yang terjadi di semua organisasi melainkan secara umum kondisi permasalahan pendokumentasian di beberapa organisasi. Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis dalam melakukan dan membantu pengembangan sistem dokumentasi di berbagai organisasi serta diskusi dengan individu yang peduli pada permasalahan pendokumentasian.

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh berbagai organisasi di gerakan sosial, khususnya di bidang advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) adalah tidak adanya sistem dokumentasi dapat menunjang kerja keseharian mereka. Ditengah perkembangan informasi dan teknologi, semua organisasi mau tidak mau harus beradaptasi.

Jika pada awalnya, berbagai organisasi HAM menuntut akuntabilitas dan transparansi negara, diwakili oleh pemerintah selaku penanggung jawab penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, kini terjadi perubahan yang cukup signifikan. Setiap organisasi juga dituntut untuk transparan dalam melakukan penanganan advokasi yang dilakukan khususnya pada masyarakat yang dijadikan konsituen mereka. Setiap manusia yang menjadi korban dan diwakili oleh organisasi tersebut mempunyai hak untuk mengetahui sampai sejauh mana kasus/permasalahan mereka yang kini ditangani oleh organisasi tersebut. Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran adalah tersedianya dokumentasi, baik itu kasus maupun proses advokasi yang telah dilakukan organisasi tersebut.

Selain itu, kebutuhan akan dokumentasi yang terstruktur dan sistematis dalam proses advokasi maupun kampanye HAM saat ini menjadi kebutuhan utama. Kompleksitas permasalahan HAM menjadi sangat sulit diadovaksi tanpa dukungan dokumentasi sebagai basis argumen. Kampanye HAM akan menjadi “tidak berbunyi” tanpa dukungan dokumentasi yang terkait dengan pemasalahan. Modal aktifisme semata dalam kerja penggiat HAM tidak cukup

untuk menjalankan mandat yang diembannya.

Harus diakui, sedikit sekali organisasi HAM yang memiliki sistem pendokumentasian yang baik dalam kerja organik mereka. Padahal, hampir semua organisasi tersebut memiliki interaksi yang cukup baik dan hubungan yang cukup dekat dengan masyarakat yang menjadi korban. Sehingga, keterbatasan informasi bukan menjadi satu hambatan. Dengan kata lain, informasi dari masyarakat akan sangat mudah didapatkan. Namun, informasi ini tidak akan banyak berguna jika tidak di dokumentasikan dengan baik.

Secara umum, terdapat empat masalah utama yang dihadapi oleh berbagai organisasi dalam membangun dan mengembangkan system pendokumentasian; pertama pemahaman konsep, struktural organisasi, sumber daya dan ketersediaan sistem dokumentasi. Masalah ini akan dibahas secara terpisah namun tetap saling terkait dan tidak terpisah.

1. Pemahaman konsep HAM dan Pendokumentasian
Basis utama dalam membangun sebuah sistem dokumentasi adalah pemahaman konseptual dan praksis tentang isu yang akan didokumentasikan. Pemahaman ini termasuk pemahaman secara organisasional dan individu dalam organisasi tersebut. Seringkali penulis menemui masalah ini dibeberapa organisasi.

Sebagai salah satu contoh adalah pemahaman tentang pelanggaran HAM. Secara tradisional, pelaku pelanggaran HAM adalah pemerintah melalui kebijakan dan aparatnya. Sehingga, dalam proses pendokumentasian subyek pertanggungjawaban pelanggaran HAM adalah negara. Akan tetapi, fenomena yang berkembang saat ini telah bergeser dimana pelaku bukan hanya entitas pemerintah. Entitas diluar negara seperti organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan atau perusahaan multi nasional yang melakukan perusakan alam juga telah dianggap sebagai salah satu pelaku pelanggaran HAM.

Menghadapi permasalahan ini, organisasi seharusnya memiliki sikap yang jelas di dasari argumentasi konseprual berdasarkan pengalaman praksis mereka tentang isu tersebut. Dari sini, pemahaman organisasi tersebut kemudian diinternalisasikan ke dalam individu yang melakukan aktifitas di dalam organisasi tersebut untuk meminimalkan perbedaan konseptual di antara individu. Jika tidak terbangun pemahaman bersama, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kesulitan dalam melakukan pendokumentasian. Jika organisasi kemudian memutuskan pelanggaran HAM dari sudut pandang tradisional, maka sudah seharusnya itu dikuti oleh pelaksana organisasi tersebut dengan konsisten.

2. Posisi dan kebijakan lembaga

Seringkali penulis menemui lembaga yang tidak mengetahui persis posisinya dalam gerakan. Jika ditanya, maka akan dijawab dengan panjang lebar tentang latar belakang berdirinya organisasi dengan berbagai jargon HAM. Akan tetapi saat ditanya, posisinya, jawabannya diatas akan diulang. Di sisi yang lain, beberapa lembaga dapat menjawab. Namun ketika ditanya, apakah mereka menjalankan fungsi tersebut, jawaban yang mengambang kemudian muncul. Tidak ada yang salah jika dijawab dengan tepat atau tidak. Yang harus disadari adalah mengetahui dengan jelas dan menjalankan mandatnya akan sangat mempengaruhi kerja pendokumentasian.

Mengetahui posisi lembaga akan sangat penting. Berdasarkan posisi ini, individu yang berada dalam organisasi dapat melakukan pendokumentasian sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi, saat posisi organisasi adalah berada di lapisan paling bawah, seperti pendampingan masyarakat korban namun informasi dan data yang didokumentasikan adalah pada tingkatan advokasi kebijakan. Sudah dapat dipastikan, dokumentasi tersebut tidak akan banyak berguna untuk organisasi untuk kerja keseharian mereka.

Kondisi lain yang ditemui penulis adalah saat bekerja sama dengan salah satu oragnisasi yang mempunyai mandat yang jelas, yaitu pemantauan pelanggaran HAM dengan isu yang sangat spesifik. Sudah barang tentu, mandat yang begitu jelas akan sangat membantu proses pendokumentasian. Informasi dan data yang dikumpulkan akan sangat jelas dan selektif. Akan tetapi saat ditanya, apakah mereka punya dokumentasinya, maka yang akan ditunjukkan adalah setumpuk berkas serta potongan kliping.

Seringkali, dalam pandangan pengambil kebijakan di organisasi HAM, pendokumentasian menjadi hal yang kesekian. Salah satu alasan yang muncul adalah yang dibutuhkan adalah kerja lapangan yang konkrit di lapangan daripada dokumentasi yang baik. Akibatnya, pandangan ini kemudian mempengaruhi kebijakan di organisasi. Kerja pendokumentasian kemudian dijadikan prioritas kesekian dan dilihat sebagai pekerjaan yang terpisah dari kerja keseharian. Dokumentasi kemudian dianggap sebagai sistem pendukung (supporting sistem) yang tidak terlalu signifikan. Bagian atau departemen yang menangani pendokumentasian kemudian ditempatkan dalam posisi yang paling rendah atau posisi yang tidak memiliki kewenangan.dalam organisasi. Kondisi ini jelas akan sangat mempengaruhi alokasi sumberdaya, waktu maupun pembiayaan kerja pendokumentasian. Akhirnya, kerja pendokumentasian kemudian disamakan dengan kerja melakukan kliping koran.

3. Sumberdaya yang terbatas

Permasalahan ini sangat terkait dengan permasalahan yang sebelumnya dibahas. Seringkali kebijakan organisasi tidak mengalokasikan sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan proses pendokumentasian, bahkan untuk taraf minimal. Permasalahan ini juga kerap kali dikaitkan dengan masalah terbatasnya dukungan keuangan yang dimiliki oleh satu lembaga.

Tidak sedikit lembaga yang mengalokasikan (hanya) satu orang untuk menangani kerja pendokumentasian. Kerja ini kemudian diserahkan pada satu orang staf yang juga merangkap untuk menjadi pengelola perpustakaan bahkan pembantu umum. Akibatnya, kerja pendokumentasian yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan tidak dapat dilakukan dikarenakan beban kerja yang besar.

Ditambah lagi dengan masalah minimnya kemampuan atau kapasitas dari pelaksana dalam melakukan kerja pendokumentasian menjadi catatan penting. Pendokumentasian tidak dapat dipahami sebagai kerja rutinitas dibelakang meja melainkan membutuhkan kemampuan tersendiri serta pemahaman yang memadai tentang isu yang didokumentasikan. Pengembangan kapasitas individu kemudian menjadi sangat penting. Ironisnya, alokasi anggaran untuk pos ini sangat minim bahkan tidak ada.

Alokasi anggaran kerja juga sangat berpengaruh dalam pendokumentasian. Sangat sedikit organisasi yang secara tegas memberikan alokasi anggaran yang cukup memadai untuk melakukan kerja pendokumentasian. Ini pun hanya ditemui dibeberapa organisasi yang relatif besar dan stabil serta fokus kerja yang jelas. Pengembangan serta pemeliharaan infrastruktur dan sistem dokumentasi memang tidak membutuhkan biaya yang besar namun sering terabaikan oleh para pengambil kebijakan di organisasi.

4. Sistem yang sederhana namun efektif

Saat penulis bertanya ke beberapa organisasi tentang sistem pendokumentasian yang mereka butuhkan; yang muncul adalah kebutuhan akan seperangkat infrastruktur yang canggih seperti komputer dengan berbagai fitur pendukung serta dengan dukungan sistem software yang kompleks seperti database. Tentu saja, untuk menyediakan perangkat ini membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan yang sangat besar bahkan terlalu besar untuk ukuran organisasi. Dengan tersedianya perangkat canggih ini maka diyakini bahwa masalah yang mereka hadapi akan selesai. Ketika ditanya bagaimana mereka menyediakan dan menjalankan perangkat itu, sangat sedikit yang mampu menjelaskan. Terlebih lagi saat ditanya apakah benar itu merupakan satu kebutuhan atau hanya satu keinginan semata?

Pemahaman seperti ini pula yang sering membuat para pengambil kebijakan di organisasi enggan mengalokasikan anggaran yang besar. Investasi yang cukup besar seringkali tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga terkesan sia-sia. Hasilnya pun seringkali tidak dapat didapatkan dalam tempo yang singkat.

Jika dilihat lebih dalam, kebutuhan sesungguhnya adalah tersedianya sistem dokumentasi yang dapat membantu kerja organisasi tersebut. Bisa saja sistem tersebut sangat sederhana, tidak membutuhkan perangkat-perangkat yang mahal. Atau sebaliknya, sistem yang canggih namun mudah dioperasikan. Tentunya sangat tergantung dari beban kerja masing-masing organisasi dan kemampuan untuk menyediakan perangkat. Terkadang, dengan menggunakan sistem yang sangat sederhana sangat membantu daripada membangun sistem yang begitu rumit sehingga menyulitkan proses kerja.

Sumber: Syaldi Sahude, aktif di Komunitas Sekitarkita dan HURIDOCS Support Group Indonesia

There are no comments on this post.

Leave a comment